Sabtu, 07 November 2009

“Produk-Produk Jurnalistik”


Dalam perkembangannya, jurnalisme dibedakan menjadi tiga model utama. Pertama, Jurnalisme media cetak, yang berupa koran, majalah, news dan bulletin. Kedua, jurnalisme elektronik auditif, yang berupa jurnalisme siaran radio (radio broadcast journalism). Ketiga, jurnalisme audio visual, ini berupa jurnalisme televisi. “News” itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yang berarti “berita” berasal dari kata “new” (baru) dengan konotasi kepada hal-hal yang baru[1].

Tetapi dalam tulisan ini kita akan secara khusus memilih pembahasan mengenai jurnalisme radio. Jurnalisme radio sendiri (radio journalism, broadcast journalism) adalah proses produksi berita dan penyebarluasannya melalui media radio siaran. Pengertian “Radio” menurut ensiklopedi Indonesia yaitu penyampaian informasi dengan pemanfaatan gelombang elektromagnetik bebas yang memiliki frekwensi kurang dari 300 GHz (panjang gelombang lebih besar dari 1 mm). Sedangkan istilah “radio siaran” atau “siaran radio” berasal dari kata “radio broadcast” (Inggris) atau “radio omroep” (Belanda) artinya yaitu penyampaian informasi kepada khalayak dengan media suara yang berjalan satu arah dengan memanfaatkan gelombang radio sebagai media. Reginald Fessenden, ilmuwan asal Pittsburg, Amerika Serikat, diakui sebagai yang pertama melakukan sejenis siaran radio, walau terbatas. Dan untuk khalayaknya dilakukan seorang teknisi Eestinghouse pada tahun 1920 di Pittsburg. Barulah pada tahun 1930 sistem radio FM ditemukan.


Saat ini tidak dapat dipungkiri siaran radio identik dengan siaran musik, meskipun radio juga sudah banyak yang merambah ranah informasi (jurnalisme) dengan meningkatnya siaran. Dengan keterbatasan hanya sebagai media audio (dengar), kreativitas dalam mempertahankan dan menguatkan eksistensi siaran radio tidak ada jalan lain, kecuali mengangkat musik dan jurnalisme sebagai dasar inovasi dan daya tarik radio.


Radio merupakan salah satu media yang telah mengakar di benak masyarakat sebagai media yang memiliki fungsi majemuk. Sebagai media yang paling merakyat di Indonesia radio terus menjadi arena pertarungan kekuasaan sejak revolusi kemerdekaan sampai zaman reformasi seperti sekarang. Sebelum tahun 1998, radio tidak pernah dianggap sebagai agen perubahan sosial yang signifikan. Media radio hanya dianggap sebagai media kasta rendahan, media hiburan, sehingga luput dari perhatian akademis yang mendalam. Radio di Indonesia seperti berada di zaman kegelapan karena tidak punya pilihan lain selain menjadi medium propaganda penguasa.

· Peran Sosial Jurnalisme Radio Dalam Sejarah

Perkembangan yang terjadi setelah tahun 1998, radio bangkit sebagai media yang yang mulai dengan “benar” memainkan peran sosial yang sempat dibelenggu oleh kekuasaan pemerintah pada waktu itu. Perlahan radio mulai menunjukkan eksistensinya sebagai medium informasi yang lebih handal dibandingkan dengan media cetak. Pada saat itu radio dan televisi mulai berlomba untuk menyajikan informasi yang tercepat, objektif, dan langsung dari lokasi kejadian. Reformasi 1998 ternyata tidak sekedar memaksa penghapusan regulasi penyiaran berita tatapi telah melahirkan kebangkitan jurnalisme elektronik termasuk radio.


Harus diakui sampai 10 tahun mendatang, program jurnalisme radio masih akan menjadi acara yang idealis bagi bangsa Indonesia. Hal itu disebabkan karena radio sebagai medium penyiaran milik publik harus mengelola perbedaan, aspirasi, dan dialog secara interaktif dan setara. Radio menggunakan frekuensi sebagai medium siar, jurnalisme elekronik tidak dapat dipisahkan dari wacana ruang publik. Siaran jurnalisme radio harus mewujudkan akuntabilitas publik dan merumuskan standar normatif yang memungkinkan publik dapat bersuara kritis melawan berbagai macam penindasan. Ciri khas dari media radio yang membedakannya dengan media cetak adalah sifat radio yang interaktif dan imajinatif, metodologi reportase berbentuk laporan langsung dari tempat kejadian dan kemasan penyajiannya berbentuk berita sela.


Selain itu radio, dalam penyusunan berita yang akan disiarkan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh khalayak dalam selintas dengar. Namun seperti halnya jurnalisme surat kabar, jurnalisme radio juga mengalami perkembangan untuk memenuhi kebutuhan khalayak. Khalayak tidak hanya memerlukan informasi tetapi juga opini dengan berbagai informasi.


Negara Indonesia telah diakui sebagai negara demokrasi. Maka dari itu media penyiaran juga termasuk dianggap sebagai pilar dari demokrasi yang berfungsi untuk pengontrol pemerintah. Hubungan negara dan radio dapat disebut sebagai hubungan yang selalu berkaitan satu sama lain. Pada awalnya, tepatnya pada zaman kemerdekaan radio telah digunakan sebagai alat propaganda.


Pada kenyatannya demokratisasi dalam penyiaran selalu bertumpu pada dua pilar utama. Pertama, demokratisasi sebagai jaminan tidak adanya intervensi pada muatan isi dan perbincangan di media penyiaran dalam bentuk apapun, termasuk intervensi melalui badan kontrol yang sejatinya berasal dari kehendak masyarakat. Kedua, keterbukaan bagi partisipasi semua pihak secara setara dan independent. Media siaran adalah ruang publik yang dapat diakses setiap lapisan masyarakat melalui dua bentuk yaitu kepemilikan dan investasi. Namun di masa depan perlu dicatat, apakah radio akan menjadi pelopor atau sebaliknya menjadi musuh demokrasi.


Wacana radio dan demokrasi berkutat pada pemikiran yang menempatkan parameter tunggal radio sebagai media kebebasan berekspresi. Namun pada kenyataannya, radio di Indonesia belum pulih dari ketergantungan kepada penguasa dan pemodal. Radio belum memiliki kekuasaan penuh untuk mengatasi rezim yang berkuasa.


Seperti yang kita ketahui, radio siaran mengalami perkembangan yang pesat setelah tahun 1998. Banyak bermunculan stasiun-stasiun radio baru yang dikelola oleh individu ataupun secara kelompok yang tersebar hampir di setiap daerah di Indonesia. Hal itu disebabkan karena kebebasan penyiaran telah mulai didapatkan setalah lama terpasung oleh kekuasaan yang hanya memanfaatkan radio sebagai alat untuk kepentingan propaganda.


Industri siaran radio tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan negara dimana kekuasaan tersebut merupakan faktor penentu fungsi keberadaan industri penyiaran di masyarakat. Radio adalah media komunikasi yang paling tua di Indonesia, yakni kemunculan awalnya pada tahun 1911. Dalam sejarahnya, radio pernah berperan serta untuk mentransmisikan informasi kekuasaan, konflik, dan integrasi di Indonesia. Di setiap pemerintahan yang berkuasa, radio selalu digunakan sebagai alat untuk kepentingan legitimasi kekuasaan.


Berbagai peristiwa yang berkaitan dengan dunia radio tidak lepas dari konteks politik dan ekonomi yang selalu mewarnai bumi Indonesia ini, mulai dari konflik hingga penyelesaiannya. Secara singkat, perjalanan panjang radio siaran dan pergulatannya dengan misi sosial, ekonomi dan politik di Indonesia telah mengalami berbagai kemelut yang tidak gampang untuk dilalui.


Sejak Orde Baru sampai Orde Reformasi, tarik menarik antara media radio sebagai alat komunikasi pembangunan dan radio sebagai media penunjang perekonomian modern sangat terasa. Namun, di balik semua itu siaran radio berusaha memberikan informasi melalui siarannya agar publik tetap dapat menikmati setiap siaran berita radio yang disajikan dengan desain yang beragam bentuknya, mulai dari informasi politik, sosial, ekonomi, musik dan hiburan serta berbagai informasi tentang pendidikan.


Pada akhirnya media radio diakui eksistensinya dengan dipercaya sebagai “kekuasaan kelima” dalam siklus demokrasi di Indonesia. Radio siaran dianggap sebagai “kekuasaan kelima” atau the fifth estate, setelah pers mendapat julukan sebagai “kekuasaan keempat” demokrasi. Sedangkan ketiga lainnya adalah yang menjalankan fungsi pemerintahan yang terdiri dari lembaga-lembaga yang tergabung dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dimana masing-masing berperan sebagai kekuasaan pertama, kedua dan ketiga dalam pilar demokrasi Indonesia.

Daftar Pustaka

Suhandang, Kustadi, Pengantar Jurnalistik; Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik, Bandung: Penerbit Nuansa, 2004



[1] Suhandang, Kustadi, Pengantar Jurnalistik; Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik, Bandung: Penerbit Nuansa, 2004, hal 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar