Sesi pertama membahas The Phenomena of Investigative Journalism dengan narasumber Andreas Harsono (anggota International of Investigative Journalist) dan Dandy Laksono (Wartawan investigasi). Pada sesi ke-2 giliran Moammar Emka penulis buku laris Jakarta Undercover, Pieter P Gero dari Kompas dan Dosen Fakultas Psikologi UI Dicky Pelupessy menyajikan pembahasan tentang Excitement In Revealing Desirable News.
Mengutip tokoh jurnalisme investigasi modern, Robert Greene, menurut Harsono liputan investigasi merupakan karya seorang atau beberapa wartawan atas suatu hal yang penting terkait dengan kepentingan masyarakat. Namun yang membedakannya ia dirahasiakan oleh mereka yang terlibat. Liputan investigasi minimal memiliki tiga elemen dasar.
Pertama, liputan yang dihasilkan harus asli dari wartawan, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh media. Kedua, subyek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca surat kabar atau pemirsa televisi bersangkutan. Ketiga, ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.[1]
Apakah yang disebut investigasi?
Trend istilah investigasi lebih lazim dikenal dalam terminologi jurnalistik. Ada beberapa definisi investigasi yang bisa dipakai seperti:
Robert Greene dari Newsday, “Kegiatan investigasi merupakan karya seorang/tim atau beberapa wartawan atas suatu hal yang penting buat kepentingan masyarakat namun dirahasiakan. Kegiatan investigasi ini minimal memiliki tiga elemen dasar: bahwa kegiatan itu adalah ide orisinil dari si investigator, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh media; bahwa subyek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca surat kabar atau pemirsa televisi bersangkutan; bahwa ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.”
Goenawan Mohammad, “Kegiatan jurnalistik investigatif merupakan jurnalisme “membongkar kejahatan". Ada suatu kejahatan yang biasanya terkait dengan tindak korupsi yang ditutup-tutupi. Namun, belakangan istilah investigasi semakin meluas. Secara umum, dari berbagai definisi yang ada, investigasi bisa diartikan sebagai: “Upaya pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui kebenaran –atau bahkan kesalahan- sebuah fakta. Melakukan kegiatan investigative sebenarnya jauh dari sekedar mengumpulkan ribuan data atau temuan di lapangan, kemudian menyusun berbagai informasi yang berakhir dengan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian.” Memang umumnya hanya kalangan tertentu yang biasa melakukan investigasi. Tetapi, tidak menutup kemungkinan masyarakat bisa melakukannya. Sehingga kegiatan investigasi bisa diperluas menjadi kegiatan publik.
Kasus apa yang dapat diinvestigasi?
Biasanya, investigasi dilakukan untuk mengungkap fakta yang menyangkut - merugikan- masyarakat umum (publik) baik secara langsung maupun tidak. Kasus atau persoalan yang memerlukan tindakkan investigative adalah persoalan yang menyangkut kepentingan bersama dan cukup masuk akal mempengaruhi kehidupan social mayoritas masyarakat umum, serta adanya indikasi bahwa pihak-pihak tertentu mencoba untuk menyembunyikan kejanggalan dari hadapan publik. Yang perlu diperhatikan disini adalah bagaimana cara memilah kasus. Kasus-kasus yang layak diinvestigasi adalah kasus yang secara garis besar:
- Menyangkut masyarakat luas, dan ada indikasi kecurangan oleh pihak tertentu
- berkaitan dengan penggunaan dana dalam jumlah besar (contoh: kasus BLBI, PLN, Bulogate, Suharto, BPPC)
- berkaitan dengan peristiwa politik yang menyangkut kepentingan publik (contoh: peristiwa tanjung priok, penyerbuan kantor PDI Pusat 1997, kasus Prabowo)
- menimbulkan silang pendapat antar beberapa pihak
- Golongan kuat yang selalu dominan dalam masyarakat (partai, keluarga cendana)
- Kasus-kasus kriminal yang janggal (peristiwa Udin, Marsinah, Pak De)
Tahapan Investigasi
First Phase
- First lead (petunjuk awal)
- Initial investigation (investigasi awal)
- Forming on investigation hypothesis
- Literature search & Interviewing experts
- Finding a paper trail
- Interviewing key informants & sources
Second phase
- Organizing & analyzing data
- Writing
- Internal expose
Dari mana munculnya jurnalisme investigatif ini? Di Amerika Serikat, istilah investigative reporting tampaknya mulai populer pada tahun 1975, ketika di Columbia didirikan Investigative Reporters and Editors Inc. Namun, bicara tentang sejarah kemunculan jurnalisme investigatif, tampaknya harus dimulai dari kemunculan apa yang dinamakan muckraking journalism.
Muckraking journalists adalah julukan yang diberikan pada jurnalis Amerika, yang menggunakan suratkabar tempat ia bekerja sebagai sarana untuk menggugat ketidakadilan, mengungkap kesewenang-wenangan (abuses), dan menyebarkan informasi tentang berbagai penyimpangan yang terjadi kepada masyarakat umum.
Istilah ini dipopulerkan pada akhir 1800-an, ketika sejumlah jurnalis Amerika mulai mengambil jarak dari bentuk pelaporan berita peristiwa biasa. Sebagai gantinya, mereka mulai melakukan investigasi dan menulis tentang tokoh dan organisasi ternama. Dengan semangat untuk mengungkap korupsi di kalangan bisnis dan politik, para jurnalis ini membantu meningkatkan kesadaran publik terhadap berbagai penyakit sosial, ekonomi, dan politik.
Di Indonesia, yang dianggap menjadi pelopor jurnalisme investigatif adalah Suratkabar Indonesia Raya, di bawah pimpinan Mochtar Lubis. Antara tahun 1969 sampai 1972, suratkabar itu gencar membongkar kasus-kasus korupsi di perusahaan minyak negara, Pertamina.
Tiga Bentuk Jurnalisme Investigatif
Sesudah praktik jurnalisme investigatif semakin matang, ada beberapa bentuknya yang dapat kita kenali. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, setidaknya ada tiga bentuk yang bisa kita bedakan. Yaitu: pelaporan investigatif orisinal, pelaporan investigatif interpretatif, dan pelaporan terhadap investigasi.[2]
§ Pelaporan investigatif orisinal (original investigative reporting):
Pelaporan investigatif orisinal melibatkan reporter itu sendiri dalam mengungkap dan mendokumentasikan berbagai aktivitas subjek, yang sebelumnya tidak diketahui oleh publik. Ini merupakan bentuk pelaporan investigatif, yang sering berujung pada investigasi publik secara resmi, tentang subjek atau aktivitas yang semula diselidiki dan diungkap oleh jurnalis. Ini adalah contoh klasik, di mana pers mendesak lembaga publik (pemerintah), atas nama publik.
Dalam melakukan investigasi, jurnalis mungkin menggunakan taktik-taktik yang mirip dengan kerja polisi. Seperti, penggunaan tenaga informan, pemeriksaan catatan/data publik, bahkan --dalam situasi tertentu-- pemantauan aktivitas dengan sembunyi-sembunyi dan penggunaan penyamaran.
Dalam pelaporan investigatif orisinal di era modern sekarang, kekuatan analisis komputer sering menggantikan observasi personal para reporter.
§ Pelaporan investigatif interpretatif (interpretative investigative reporting):
Jenis pelaporan investigatif interpretatif juga menggunakan keterampilan yang sama, seperti pada pelaporan investigatif orisinal, namun menempatkan interpretasi (penafsiran) pada tingkatan yang berbeda.
Perbedaan mendasar antara keduanya adalah, pada pelaporan investigatif orisinal, si jurnalis mengungkapkan informasi, yang belum pernah dikumpulkan oleh pihak lain manapun. Tujuannya adalah memberitahu publik tentang peristiwa atau situasi, yang mungkin akan mempengaruhi kehidupan mereka.
Sedangkan, pelaporan interpretatif berkembang sebagai hasil dari pemikiran dan analisis yang cermat, terhadap gagasan serta pengejaran fakta-fakta yang diikuti, untuk memadukan semua informasi itu dalam konteks yang baru dan lebih lengkap. Dengan cara ini, diharapkan bisa memberi pemahaman yang lebih mendalam pada publik.
Pelaporan interpretatif ini biasanya melibatkan seperangkat fakta dan isu-isu yang lebih kompleks, ketimbang sekadar pengungkapan biasa. Pelaporan interpretatif ini menyajikan cara pandang yang baru terhadap sesuatu, serta informasi baru tentangnya.
§ Pelaporan terhadap investigasi (reporting on investigations):
Pelaporan terhadap investigasi adalah perkembangan terbaru dari jurnalisme investigatif, yang semakin biasa dilakukan. Dalam hal ini, pelaporan berkembang dari temuan awal atau bocoran informasi, dari sebuah penyelidikan resmi yang sudah berlangsung atau yang sedang dipersiapkan oleh pihak lain, biasanya oleh badan-badan pemerintah.
Pelaporan terhadap investigasi bisa terjadi, manakala penyelidik resmi sedang bekerja. Penyelidik dari pihak pemerintah bekerjasama secara aktif dengan jurnalis pada kasus-kasus tertentu, karena sejumlah alasan. Seperti: untuk mempengaruhi anggaran derma (dari negara bagian), untuk mempengaruhi saksi-saksi potensial, atau untuk membentuk opini publik. Contohnya, sebagian besar dari pelaporan tentang perselingkuhan Presiden Bill Clinton dengan Monica Lewinsky sebenarnya adalah hasil investigasi, yang dilakukan kantor Penuntut Independen Kenneth Star, ditambah dengan informasi tandingan yang dibocorkan oleh pihak Gedung Putih atau para pengacara terkait.
Bandingkan dengan pelaporan investigatif skandal Watergate pada 1972, yang dilakukan jurnalis Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Sebagian besar hasil penyelidikan kasus tersebut, khususnya pada bulan-bulan awal yang kritis, adalah murni hasil kerja investigatif orisinal para jurnalis.
Mereka bicara langsung pada para narasumber utama tentang apa yang terjadi, bukan bicara pada tim penyidik resmi tentang apa yang mereka teorikan sudah terjadi. Skandal Watergate ini kemudian berujung pada jatuhnya pemerintahan Presiden Richard Nixon.
Seorang jurnalis investigatif mungkin menghabiskan waktu yang cukup lama untuk riset dan menyiapkan laporannya, kadang-kadang bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sementara reporter harian atau mingguan biasa menuliskan berita-berita yang bisa dimuat segera. Laporan akhir seorang jurnalis investigatif biasanya berupa suatu pengungkapan kasus.
Langkah-langkah investigasi ini sering menuntut si reporter untuk melakukan banyak wawancara terhadap berbagai sumber, serta bepergian ke banyak lokasi. Tak jarang, reporter juga harus melakukan aktivitas seperti: pengintaian, analisis dokumen, menyelidiki kinerja peralatan yang terkait dengan suatu kecelakaan, dan sebagainya.
Jurnalisme investigatif menuntut kecermatan dalam detail (rincian), penemuan fakta, dan upaya fisik. Seorang jurnalis investigatif harus memiliki pikiran yang analitis dan tajam, dengan motivasi diri yang kuat untuk terus berupaya, ketika semua pintu informasi ditutup, ketika fakta-fakta dikaburkan atau dipalsukan, dan seterusnya.
Beberapa cara yang bisa digunakan jurnalis untuk menemukan fakta:
1. Mempelajari sumber-sumber yang sering diabaikan, seperti arsip, rekaman pembicaraan telepon, buku alamat, catatan pajak, dan perizinan.
2. Bicara kepada warga di lingkungan sekitar.
3. Menggunakan sumber riset berlangganan (di internet).
4. Sumber-sumber anonim. Misalnya, orang dalam yang membocorkan informasi (whistleblowers).
5. Melakukan penyamaran.
Jurnalisme investigatif dapat dibedakan dengan pelaporan analitis (analytical reporting). Jurnalisme analitis memanfaatkan data yang tersedia dan mengatur ulang data tersebut, sehingga membantu kita dalam mempertanyakan suatu situasi atau pernyataan, atau memandangnya dengan cara yang berbeda. Sedangkan, jurnalis investigatif bergerak lebih jauh dari sekadar pelaporan analitis, serta ingin mengetahui apakah situasi yang dihadapkan pada kita itu adalah benar-benar realitas.
Jurnalisme investigatif juga dapat dibedakan dengan pelaporan mendalam (indepth reporting). Indepth reporting merupakan suatu laporan mendalam terhadap suatu obyek liputan, biasanya yang menyangkut kepentingan publik, agar publik betul-betul memahami obyek tersebut. Namun, berbeda dengan peliputan investigatif, indepth reporting tidak memfokuskan diri pada penyingkapan suatu kejahatan, kesalahan, penyimpangan, atau kejahatan tersembunyi, yang dilakukan pihak tertentu. Sifat indepth reporting lebih pada memberi penjelasan pada publik. Sementara proses pencarian informasinya sendiri juga tidak menuntut dilakukannya investigasi, karena boleh jadi informasi itu bersifat terbuka dan mudah diakses. Sedangkan pelaporan investigatif berasumsi bahwa ada sesuatu yang salah, atau ada suatu pihak yang telah berbuat salah. Kesalahan yang sengaja disembunyikan atau belum terkuak itulah yang menjadi target peliputan investigatif.
Daftar Pustaka
- Dikutip dari Andreas Harsono dan Dandy Laksono The Phenomena of Investigative Journalism Universitas Indonesia.
- Dikutip dari Satrio Arismunandar Pengantar ke Peliputan Investigatif
- Uraian lengkap tentang tiga bentuk jurnalisme investigatif ini bisa dilihat di Kovach, Bill, & Tom Rosenstiel (2001). The Elements of Journalism. What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. New York: Crown Publishers. Hlm. 116-120
[1] Dikutip dari Andreas Harsono dan Dandy Laksono The Phenomena of Investigative Journalism Universitas
[2] Kovach, Bill, & Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism. What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, (
Tidak ada komentar:
Posting Komentar