Rabu, 14 April 2010

Sistem Pers di Indonesia

A. Pengertian Sistem Pers

Sistem dapat dilukiskan sebagai keterkaitan secara fungsional antara masukan (input) dengan proses (transformasi) yang menghasilkan keluaran (output) serta umpan balik (feedback) dan kembali menjadi input secara sinambung, teratur, dan terus menerus. Contoh: sistem pendidikan nasional.

Tjuk Atmadi dalam bukunya Sistem Pers Indonesia mengutip pendapat H.E.Kawalusan, mengatakan: “sistem pada umumnya dihubungkan dengan pengertian tentang adanya keutuhan yang terdiri dari berbagai unsur, atau berbagai unsur dan bagian yang berbentuk suatu keutuhan.” [1]

Sistem Pers merupakan bagian atau subsistem dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem komunikasi, sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan ( sosial ) yang lebih luas.

Fred Siebert, Theodore Paterson, dan Wilbur Schram dalam buku “ Four Theories of The Press” yang dikutip oleh F. Rachmadi, “ Suatu sistem komunikasi inherent dengan sistem masyarakat, maksudnya pers tidak dapat tidak, selalu mengambil bentuk dan korelasi dengan struktur sosial dan politik yang dianut oleh masyarakat dimana sistem itu berada”. Hal ini sama dengan sistem pers Indonesia.

Inti permasalahan dalam membicarakan suatu sistem pers, adalah sistem kebebasannya। Suatu sistem pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaik-baiknya pers itu dapat melaksanakan kebebasan dan tangungg jawabnya. Faham dasar sistem pers Indonesia tercermin jelas dalam konsideran undang-undang pers, yang mengasakan bahwa “ Pers Indonesia ( nasional ) sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan darimanapun”.


1. Sistem Pers Orde Lama.

Sistem Pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaiknya pers tersebut dapat melaksanakan kebebasan dan tanggung jawabnya. Sistem kebebasan pers Indonesia sendiri merupakan bagian dari sistem kemerdekaan yang lebih luas, yaitu kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat dengan lisan dan tulisan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, yang harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Namun kenyataannya selama kurang lebih 17 tahun undang-undang yang mengatur kehidupan pers itu tidak pernah terwujud, hanya baru sampai pada rancangan dan pembicaraan-pembicaraan.

Rancangan undang-undang pers yang dipersiapkan oleh panitia pers dan perencanaan perundang-undangan pers telah diserahkan kepada Menteri Penerangan pada tanggal 11 Agustus 1954 dan sembilan bulan kemudian, pada tanggal 11 Mei 1955 rancangan undang-undang tersebut telah disampaikan kepada kabinet Ali Sastroamidjojo. Namun selanjutnya nasib rancangan undang-undang ini tak menentu lagii rimbanya, karena hingga berakhirnya era demokrasi liberal, Sistem Pers Indonesia belum memiliki undang-undang sebagai landasan yuridisnya.

Diera demokrasi terpimpin para tokoh pers terus berusaha agar rancangan undang-undang pers dapat disahkan। Para penguasa pun berulangkali membicarakan tentang pengesahan undang-undang pers, namun baru pada akhir kepemimpinannya 12 Desember 1966, Presiden Soekarno mengesahkan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Undang-undang ini nantinya menjadi landasan yuridis sistem pers di awal pemerintahan ordebaru.


2. Sistem Pers Orde Baru.

Semenjak diundangkannya Undang-Undang Pokok Pers No. 11 tahun 1966, Menurut S.Tasrif Sistem Pers Orde Baru mengalami kebebasan yang cukup luas geraknya. Namun setelah peristiwa “ Malari “ tahun 1974, kebebasan pers mengalami set-back. Beberapa surat kabar dilarang terbit dan pengawasan terhadap kegiatan pers serta wartawan diperketat. Larangan-larangan dari penguasa lebih digiatkan seperti larangan melalui telepon agar pers tidak menyiarkan berita tertentu, atau dengan jalan memperingatkan wartawan untuk lebih mentaati kode etik jurnalistik sebagai “ self cencorship “.[2]

Lembaga-lembaga pers yang ada pada waktu itu adalah :

1. Dewan Pers, yaitu merupakan lembaga tertinggi dalam sistem pembinaan pers di Indonesia, dan memegang peranan utama dalam pembangunan pelembagaan bagi pertumbuhan dan perkembangan pers. Walaupun demikian, pembinaan pers berada ditangan pemerintah (Menteri Penerangan, yang dalam pemerintahan reformasi kemudian ditiadakan).

2. Organisasi Pers, yang termasuk kedalam katagori organisasi pers adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP), dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).

Indonesia pernah menganut sistem pers otoriter dan sistem pers liberal sebelum akhirnya menganut sistem pers tanggung jawab sosial. Ketika masa orde baru, pers Indonesia sempat menganut sistem pers otoriter, dimana Pemerintah melalui Departemen Penerangan pada masa itu mengontrol seluruh kegiatan pers, mulai dari keharusan memiliki SIUPP bagi lembaga pers, kontrol isi yang amat ketat terhadap pemberitaan pers sampai dengan seringnya kasus pembredelan terhadap media yang dianggap mengganggu stabilitas, ketentraman dan kenyamanan hidup masyarakat dan negara. Kebebasan pers berada di tangan pemerintah. Pers tunduk pada sistem pers, sistem pers tunduk pada sistem politik.

Pasca orba (masa reformasi), pers Indonesia seakan memperoleh kebebasannya yang selama ini tidak pernah benar-benar dirasakan. Pemerintahan Habibie yang pada masa itu menggantikan Soeharto mencabut SIUPP kemudian masa pemerintahan berikutnya di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri, pemerintah membubarkan Departemen Penerangan. Era kebebasan pers pun dimulai. Sistem pers Indonesia pun berubah menjadi sistem pers liberal. Hal ini dapat dilihat melalui minimnya self censhorsip pada media, artinya media lemah dalam melihat apakah suatu berita layak dimunculkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dengan maraknya kemunculan berbagai media yang mengangkat tema pornografi guna memenuhi permintaan pasar. Selain itu, muncul pula kecenderungan media untuk mengadili seseorang bersalah sebelum munculnya keputusan hukum oleh pengadilan. Hal ini dapat dilihat pada kasus Soeharto.

Pada awal-awal masa reformasi, media seakan-akan berlomba untuk mengadili sosok Soeharto। Namun lambat laun sistem pers Indonesia mulai berubah dan menyesuaikan dengan ideologi serta etika dan moral yang berkembang di masyarakat. Mulai selektifnya masyarakat dalam memilih media yang akan dikonsumsi menyebabkan lambat laun media-media jurnalisme “lher” hilang dengan sendirinya karena kurang mampu bersaing dengan media-media yang lebih berkulitas dan edukatif dalam menyampaikan informasi.


3. Sistem Pers Reformasi

Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.

Berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman.

Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sbb :

Ø Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.

Ø Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.

Ø Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.

Ø Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.

Ø Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini.


Fungsi dan Peranan Pers dalam Masyarakat Demokratis Indonesia

Pers atau media amat dibutuhkan baik oleh pemerintah maupun rakyat dalam kehidupan bernegara. Pemerintah mengharapkan dukungan dan ketaatan masyarakat untuk menjalankan program dan kebijakan negara. Sedangkan masyarakat juga ingin mengetahui program dan kebijakan pemerintah yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 disebutkan mengenai fungsi pers, dalam hal ini pers nasional. Adapun fungsi pers nasional adalah sbb :

1. Sebagai wahana komunikasi massa

Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga negara dengan pemerintah, dan antarberbagai pihak.

2. Sebagai penyebar informasi.

Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau negara kepada warga negara (dari atas ke bawah) maupun dari warga negara ke negara (dari bawah ke atas).

3. Sebagai pembentuk opini.

Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers dapat menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers.
4. Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi.

UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan : “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”

Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan pers di Indonesia antara lain sbb :

  1. media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya.
  2. media perantara bagi pemerintah dan masyarakat.
  3. penyampai informasi kepada masyarakat luas.
  4. penyaluran opini publik.


B. Teori Sistem Pers.

Menurut Fred Siebert, Theodore Paterson, dan Wilbur Schram dalam buku “ Four Theories of The Press” ( 1963) ada empat kelompok teori sistem Pers, yaitu :[3]

1. Teori Sistem Pers Otoriter.

Pers dalam sistem ini berfungsi sebagai penunjang negara untuk memajukan rakyat. Pemerintah mengawasi sekaligus menguasai media. Oleh karena itu, individu tidak penting, yang lebih penting adalah negara sebagai tujuan akhir individu.

2. Teori Sistem pers Liberal.

Sistem ini memandang manusia mempunyai hak asasi dan meyakini bahwa manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya secara baik jika diberi kebebasan. Oleh karena itu, pers harus diberi tempat yang sebebas-bebasnya untuk mencari kebenaran. Kebenaran akan diperoleh jika pers diberi kebebasan sehingga kebebasan pers menjadi tolok ukur dihormatinya hak bebas yang dimiliki manusia.

3. Teori sistem Pers Komunis.

Pers dalam sistem ini merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari negara. Pers menjadi alat atau organ partai yang berkuasa dengan demikian segala sesuatau ditentukan oleh negara ( Partai ). Kririk diizinkan sejauh tidak bertentangan dengan ideologi partai.

4. Teori Sistem Pers Tanggung jawab sosial.

Dasar pemikiran sistem ini adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan . Sistem ini juga lebih menekankan pada kepentingan umum dibanding dengan kepentingan pribadi.


C. Landasan Pers Indonesia.

Pers Indonesia perlu tetap memiliki landasan untuk menghindari ironi, tirani, dan bahkan hegemoni kekuasaan dalam tubuh pers itu sendiri. Oleh karena itu, pers Indonesia memiliki landasan sebagai berikut ;[4]

1. Landasan Idiil.

Landasan pertama, yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artinya, selama ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional kita harus tetap merujuk kepada pancasila sebagai ideologi nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber dari segala sumber hukum.

2. Landasan Konstitusional.

Landasan yang menunjuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan amandemen dan ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyatakan pendapat dengan lisan dan tulisan.

3. Landasan Yuridis Formal.

Mengacu kepada UU Pokok Pers No. 40/ 1999 untuk pers, dan UU Pokok Penyiaran No. 32/ 2002 untuk radio siaran dan media televisi siaran.

4. Landasan strategis Operasional.

Landasan ini mengacu kepada kebijakan redaksional media pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasional.

5. Landasan Sosiologis Kultural.

Landasan ini berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku dan sekaligus dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa Indonesia.

6. Landasan Etis Profesional.

Landasan ini menginduk kepada kode etik profesi. Setiap organisasi profesi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat hanya menginduk kepada satu kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap organisasi pers harus menyatakan terikat dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri-sendiri, boleh juga menyepakati kode etik bersama.


PENUTUP

Sistem Pers merupakan bagian atau subsistem dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem komunikasi, sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan ( sosial ) yang lebih luas. Inti permasalahan dalam membicarakan suatu sistem pers, adalah sistem kebebasannya. Suatu sistem pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaik-baiknya pers itu dapat melaksanakan kebebasan dan tangungg jawabnya.

Dilihat dari perkembangannya sistem pers Indonesia dari era suatu pemerintahan, yakni ORDE lama, ORDE baru, dan Reformasi. Sedangkan sistem pers yang saat ini dianut yakni Pers pancasila, dimana pers harus sesuai dan sejalan dengan apa yang dicita-citakan dalam isi dari pancasila.

Secara teori sistem pers menurut Fred Siebert, Theodore Paterson, dan Wilbur Schram dalam buku “ Four Theories of The Press” ( 1963) ada empat kelompok teori sistem Pers, yaitu: Teori Sistem Pers Otoriter, Teori Sistem pers Liberal, Teori sistem Pers Komunis, dan Teori Sistem Pers Tanggung jawab sosial.

Dalam menjalankan sistem persnya Indonesia memiliki landasan persnya yakni landasan idil, landasan konstitusional, landasan yuridis formal, landasan operasional, landasan sosiologis kultural dan landasan etis profesional.


DAFTAR PUSTAKA

Eyo Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, Jakarta; Pustaka Bani Quraisy, 2004

Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, Jakarta; PT. Raja Graffindo Persada, 2004

As Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, Bandung ; Simbiosa Rekatama Media, 2006

Contoh kasus

Pers Kebablasan

Apa yang dikatakan Megawati mengenai pers kebablasan, sesungguhnya tidak dirasakannya sendiri. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.

Dalam media politik pascareformasi, korban paling jelas adalah Gus Dur. Saat jadi presiden, foto rekayasa Gus Dur laksana Tom Cruise dalam film Mission Impossible II, dipampang media tanpa mengindahkan etika. Begitu juga dengan gambar Gus Dur yang bak Superman maupun Gus Dur bersama Aryanti Sitepu, yang mengaku sebagai pacar gelap orang nomor satu di Indonesia itu, semua dimunculkan atas nama kebebasan pers.



[1] Eyo Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, ( Jakarta; Pustaka Bani Quraisy, 2004 ), h. 37.

[2] Ibid, h. 55.

[3] Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, ( Jakarta; PT. Raja Graffindo Persada, 2004 ), h. 72-74.

[4] As Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, ( bandung ; Simbiosa Rekatama Media, 2006 ), h. 51-53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar