Kamis, 28 Januari 2010

SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA ( Pers Era Ordebaru)

Metode Penelitian Komunikasi

Dalam suatu negara kedudukan Perss sangat penting. Meskipun urgensi pers ini pada kenyataannya tidak sampai yang seperti apa yang kita kehendaki. Tapi, yang jelas dalam negara yang mengusung demokrasi sebagai panglima pemerintahan, pers harus tetap ada meskipun peran-perannya untuk berapa saat dikebiri.

Urgensi pers pada titik ini justru terlihat, bagaimana sebuah pemerintahan mengebiri fungsi pers atas nama keamanan atau alasan lainnya. Artinya, secara potensial pers memiliki posisi tawar yang tidak sedikit. Hal tersebut juga dipertegas dengan konsepsi Riswandha (1998: 101), bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelktual atau pers.

Di Indonesia sendiri, melihat urgensi pers kita bisa mengambil dua rentang waktu yang sama sekali berbeda. Orde Baru seperti kita ketahui adalah sebuah rezim yang otoriter yang sempat memberangus kebebasan pers atas nama keamanan dan ketertiban masyarakat. Sedang rentang waktu terkhir digambarkan sebagai masa ketika kran-kran kebebasan terbuka. Terbukanya kran kedua ini juga banyak dinilai sebagai keterbukaan yang keblabasan.

Yang jelas dengan mengambil dua skuel waktu itu kita akan dapat membedakan bagaimana pola komunikasi yang dibangun oleh masing-masing rezim. Karena stiap rezim pasti memiliki sebuah gaya kepemimpinan untuk mensukseskan jalannya pemerintahan; otoriter, ataupun demokratis.

PERS YANG TERBATASI PADA ERA ORDE BARU

Di masa Orde Baru mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang sinifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut mencengkeramkan kuku-kukunya pada kebebasan perss di masa lalu.

Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika Tempo dan Detik dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah. Sehingga tidak salah jika kita mencatat bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers oleh pemerintah.

Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui model-model pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita lihat; pertama, mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan peristiwa atau isu tertentu dengan segala alasan dan pembenaran, dan menunjukan kesalahan yang dilakukan oleh Pers.
Sentuk lain dari hegemoni negara atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan.

Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Penelitian yang dilakukan berkenaan dengan pers di awal masa Orde Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Artinya, pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah mengapa negara begitu resisten dan represif terhadap pers? Penelitian ini sendiri sama sekali tidak menyinggung hal tersebut. Padahal pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru.

Jika kita mencoba mejawab pertanyaan mendasar di atas, kita harus menengok bagaimana pemerintahan Orde Baru berdiri. Soeharto memiliki latar belakang militer dalam karir politiknya. Sehingga ketika ia menjadi presiden, ia tidak dapat melepaskan diri dari gaya-gaya kepemimpinan ala militer.

Di awal kepemimpinannya, ketika situasi dalam negeri sedikit-banyak mengalami kekacauan akibat intrik-intrik politik dari berbagai kelompok kepentingan, misalkan Partai Komunis Indonesia, bisa jadi kepemimpinan model militer adalah yang tepat. Situasi yang darurat, anomali sosial begitu banyak, maka situasi semcam itu perlu distabilkan agar tidak berdampak lebih buruk. Dapat kita lihat bahwa fungsi militer pada masa Orde Baru adalah sebagai stabilisator juga dinamisator. Dengan dua fungsi itu, militer atau tepatnya ABRI dengan dwi-fungsinya ikut terlibat dalam penyusunan kebijakan-kebijakan politik Orde Baru.
Sayangnya, model kepemimpinan ala militer itu tetap Soeharto pakai hingga era 1970-1980an. Padahal kondisi masyarakat saat itu sedikit-banyak sudah berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaanya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.

Pada titik itulah, pers melihat bahwa model kepemimpinan yang digunakan Soeharto akan memberangus kebebasan masyarakat. Artinya juga logika kekuasaan semacam itu pada suatu waktu akan menghancurkan dirinya (pers), karena pers adalah salah satu pilar penyusun sistem demokrasi yang memiliki funsgi pentingnya. Artinya pola yang digunakan Soeharto pada esensinya kontradiktif dengan logika pers itu sendiri. Tidak heran jika Orde Baru sedemikian represifnya dengan pers, karena pers adalah penghalang bagi lahirnya demokrasi Pancasila yang hegemonik dan dominatif.

Untuk mengoperasikan model kepemimpinannya, maka Orde Baru harus mengideologisasikan keamanan masyarakat. Artinya, Orde Baru harus mampu menciptakan kesan bahwa rasa keamanan selalu dibutuhkan. Untuk menciptakan perasaan semacam ini pada masyarakat, maka Orde Baru menggunakan logika perpetuation of insecurity atau mengabadikan rasa ketidakamanan.

Dengan mengabadikan rasa ketidakamanan ini, Orde Baru akan lancar ketika menggunakan kepemimpinan yang militeristik. Sehingga, dengan sendirinya pengabadian rasa ketidakamanan ini menjadikan kemanan layaknya seperti agama.

Keamanan menjadi semacam agama, dalam pengertian ini ideologi kemanan bekerja seperti dalam arti yang biasa. Ideologi kemanan merumuskan tindakan, mengatur kebijakan negara, dan pada gilirannya kebijakan negara tersebut mengatur perilaku.
Nasib pers pada masa ideologisasi kemanan ini sangat sulit, karena pers harus bertindak dalam kerangka yang abu-abu. Kerangka yang diterapkan kepada pers adalah bagaimana pers mengalami sebuah bentuk tautologi represif. Artinya, pemisahan antara kebebasan dan tanggungjawab. Orde Baru tidak memformulasikan kebebasan pers yang bertanggung jawab—artinya, tanggung jawab adalah garis batas kebebasan dan sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan tetapi dengan rumusan pers bebas dan bertanggungjawab.

Sumber: indoskripsi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar